Rasional

Pendidikan Guru Sekolah Dasar –  Pendidikan Jasmani.

Landasan Perancangan dan Pengembangan Kurikulum

 Proses pembelajaran Pendidikan Jasmani di Sekolah Dasar (SD) dewasa ini sedang mengalami perubahan serius mengingat kondisinya tengah mendapat “tuntutan” yang berbeda dari sisi kurikulum dan kompetensi guru. Sebagaimana diketahui, Kurikulum 2013 yang saat ini masih berlaku, telah mengamanatkan agar seluruh proses pembelajaran untuk seluruh mata pelajaran diimplementasikan dengan pendekatan saintifik dan pendekatan tematik terpadu; termasuk di dalamnya adalah mata pelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan (selanjutnya disingkat PJOK atau Penjasorkes). Kedua pendekatan pembelajaran tersebut, disinyalir sebagai pembelajaran yang mampu melibatkan dan membiasakan anak pada proses berfikir tingkat tinggi (higher order thinking), yang diharapkan mampu meningkatkan kemampuan dan keterampilan 4 Cs dari anak didik yang meliputi (a) critical thinking skills (berpikir kritis); (2) creativity (kreativitas); (3) communication (berkomunikasi); dan (4) collaboration (berkolaborasi).

Perlu diakui bahwa amanat tersebut telah memberikan beban yang baru (dan amat memberatkan) bagi guru PJOK, mengingat kondisi yang tengah berkembang dalam tataran penyiapan guru PJOK SD di tingkat Perguruan Tinggi. Sebagaimana juga diketahui, mayoritas guru PJOK yang saat ini bertugas di sekolah-sekolah (SD), bukan merupakan guru yang dipersiapkan khusus untuk mengajar PJOK di jenjang pendidikan sekolah dasar, melainkan merupakan lulusan dari program studi keolahragaan lintas jurusan (PJKR, PKO, dan IKOR) yang lebih dipersiapkan untuk menjadi tenaga keolahragaan umum.

Kondisi demikian perlu dipahami dari perspektif historis yang mendahuluinya jauh di masa-masa sebelum tahun 2000-an. Penutupan SGO (dan SPG) di akhir tahun 90-an yang berlaku secara nasional, otomatis telah menghentikan suply guru PJOK ke SD untuk beberapa periode. Menyusul kebijakan tersebut, program penyiapan guru SD dialihkan kepada program Diploma 2 PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar). Lebih lanjut program ini juga kemudian dihentikan untuk merespons diberlakukannya UU Guru dan Dosen (Tahun 2005) yang sekaligus menetapkan bahwa guru harus berkualifikasi S1 (Sarjana). Tetapi akibatnya, PGSD Penjas menjadi hilang, karena di fakultas keolahragaan sudah disediakan program studi PJKR, yang bukan disiapkan untuk mengajar di SD.

Pada periode vakum ini, kebutuhan guru PJOK di SD diisi dengan “membolehkan” para Guru Kelas dan Guru Agama untuk sekaligus mengajar PJOK, dengan hanya dibekali pelatihan pembekalan secara singkat; dengan istilah yang dikenal sebagai program Pembekalan Guru Kelas dan Guru Agama menjadi Guru PJOK. Sedangkan kebutuhan guru PJOK yang baru untuk SD otomatis dipenuhi dari lulusan prodi PJKR (Pendidikan Jasmani, Kesehatan, dan Rekreasi), yang dari sisi akademik tidak dipersiapkan khusus untuk mengajar di SD, tetapi lebih untuk mengajar di SMP dan SMA. Bahkan lulusan prodi Kepelatihan (PEL) dan Ilmu Keolahragaan (IKOR) pun banyak yang menjadi guru PJOK di SD, yang semakin menegaskan warna pembelajaran keolahragaan di sekolah.

Yang menjadi the potential victim dari keseluruhan kondisi di atas, tentulah anak-anak didik kita di SD, yang dari sisi “kependidikan” telah kehilangan kesempatan memperoleh ‘pendidikan yang bermakna’ dalam membangun holistic qualities melalui pembelajaran gerak dan permainan yang diakui para ahli akan mendukung proses pertumbuhan dan perkembangan anak dari segala aspek pentingnya, baik dari sisi fisikal, mental, emotional, sosial, dan bahkan moral. Mengapa demikian? Karena selama ini mereka diasuh oleh para guru yang menganut paradigma yang kurang tepat dalam pendidikan jasmani. Program Penjasorkes yang demikian akan menjadi “program sosialisasi ke dalam gerakan olahraga,” tetapi mengabaikan penekanan pada aspek kependidikan yang dibutuhkan anak untuk mengembangkan berbagai kompetensi hidup sebagai orang terdidik.

Persoalan kemudian adalah, setelah Prodi PGSD Penjas menghasilkan guru pun, kelemahan yang terjadi dalam proses PBM di sekolah belum juga menggembirakan. Penelusuran cermat ke “dapur” akademik PGSD membuhulkan satu kesimpulan bahwa dari sisi program akademik, program penyiapan guru PJOK SD ini masih menunjukkan kelemahan mendasar. Beberapa kelemahan tersebut di antaranya yaitu dari sisi kurikulum dan dari sisi perwujudan kompetensi mengajar para calon guru yang biasanya diakumulasi dalam program PPL (Praktek Pengalaman Lapangan).

Dari sisi kurikulum, diakui bahwa struktur yang ada saat ini masih merupakan tambal sulam dari struktur lama yang sama dengan prodi PJKR. Di dalamnya masih terdapat mata kuliah praktek dari kelompok Content Knowledge yang masih bernuansa sport-based. Mayoritas mata kuliah praktek masih berisi “konsep dan komponen olahraga,” di mana penekanannya adalah agar mahasiswa mempelajari cabang-cabang olahraga melalui penguasaan teknik dasarnya. Padahal, Penjas di SD seharusnya bergeser lebih mendasar dan fundamental, yaitu lebih menekankan pada “konsep dan komponen gerak,” sehingga apa yang dipelajari mahasiswa di prodinya sudah harus mengarah ke sana.

Di pihak lain, struktur kurikulum PGSD Penjas ini dinilai kurang memberi penekanan pada pengembangan mata kuliah dari kelompok General dan Pedagogical Content Knowledge. Sehingga aspek kompetensi mengajar siswa terkait dengan pedagogisnya dipandang lemah. Penilaian terhadap lemahnya kurikulum PGSD ini dilontarkan pula oleh para akademisi Penjas dari the Philippines Normal University dalam suatu program FGD (focus group discussion) di kota Manila, ketika tim PGSD Penjas UPI berkunjung ke PNU pada bulan Agustus 2016.

Kondisi kurikulum di atas tentu amat berpengaruh kepada penguasaan kompetensi pengajaran dari para mahasiswa yang mengikutinya. Lemahnya kompetensi tersebut terlihat manakala mahasiswa PGSD Penjas mengikuti program PPL di sekolah-sekolah. Cara mengajar mereka masih menyerupai pola dan cara pengajaran guru PJOK pada umumnya, yang masih mengedepankan pengajaran teknik-teknik dasar berolahraga. Hanya saja, ketika cara tersebut diterapkan di SD, kondisinya menjadi lebih parah, karena bukan saja materi yang diajarkan tidak sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan siswa, bahkan peralatan yang digunakan pun benar-benar berada di luar jangkauan minat dan kemampuan siswa.

Akibatnya, mayoritas mahasiswa PPL tidak memiliki kompetensi dalam hal keterampilan mengajar (teaching skills) sehingga melemahkan sisi pedagogisnya. Dalam praktek pengajaran yang mereka tunjukkan, hampir tidak ada mahasiswa yang mampu menunjukkan teknik “membuka kelas” yang berorientasi pada tiga domain utama pembelajaran, demikian juga dalam “kegiatan inti,” dan bahkan dalam fase “menutup kelas.” Yang lebih memprihatinkan, pemahaman mereka terhadap model-model pembelajaran yang berlaku dalam Penjas pun boleh dibilang amat minimalis, bahkan gaya mengajar yang dikuasai pun hanya terbatas pada gaya mengajar komando. Ini tentu bertentangan dengan kaidah pembelajaran di SD di mana siswa dituntut untuk lebih banyak bereksplorasi melalui penerapan gaya-gaya mengajar seperti gaya tugas (practice style), gaya berbalasan (reciprocal style), gaya problem solving serta gaya guided discovery, misalnya. Oleh karenanya, suasana pembelajaran Penjas menjadi amat teacher-centered, sehingga jauh dari perwujudan pembelajaran yang pupil/children-centered.

Lebih lanjut, kompetensi mengajar mahasiswa tersebut tidak mendapatkan koreksi dari guru-guru pamong mereka, karena pola dan kompetensi mengajar yang dikuasai guru pamong pun belum pernah berubah dari paradigma yang mereka anut. Para guru pamong tersebut, malahan lebih berperan sebagai pihak yang menguatkan (key-reinforcers) diadopsinya gaya dan paradima lama dalam mengajar Penjas, sehingga semakin kukuhlah paradigm tersebut sebagai suatu taken for granted. Pengukuhan tersebut niscaya akan terus berlanjut sampai kapanpun, jika tidak ada upaya elegan dari pihak Prodi dan Universitas untuk turut merubahnya. Logikanya, upaya perbaikan apapun akan berakhir dalam kegagalan karena upaya perbaikan tersebut belum  menyentuh pihak pelaku utama di lapangan.

Secara keilmuan, ini semua tentu menjadi kontraproduktif dan amat berlawanan dengan perkembangan yang sudah dicapai oleh kolega serumpun dari negara lain. Kondisi serupa ini tidak menjadi dorongan kuat bagi para dosen untuk makin memperdalam penguasaan bidang ilmu Penjas yang sebenarnya semakin menantang untuk digali dan dikembangkan. Ini relevan dengan pernyataan para ahli, bahwa program penjas yang berkualitas untuk anak: “is much more simply a bunch of activities that children enjoy for 30 minutes or so several times a week. A quality program of physical education has a definite purpose, has long-term goals, and is developmentally and instructionally appropriate; in short, for children it makes a difference that lasts well beyond elementary school” (Graham, et.al, 2007).

Karena itu pula tidak mengherankan jika penelusuran lebih lanjut ke sekolah-sekolah di kita menyimpulkan bukti bahwa pengembangan program Penjas SD selama ini tidak pernah berbeda dari apa yang terjadi di sekolah menengah, yaitu: 1) Materi pembelajaran masih berupa elemen olahraga seperti teknik dasar cabang olahraga dan berbagai keterampilan formal keolahragaan lainnya, (2) Model dan pendekatan pengajaran masih menggunakan model dan pendekatan direct teachings, di mana gaya komando dan pelaksanaan gerak secara bergiliran masih digunakan pada setiap pembelajaran sehingga benar-benar bernuansa teachers’ centered, (3) Peralatan yang digunakan adalah peralatan olahraga formal yang berstandard seperti bola voli, bola basket, bola sepak, alat atletik, alat senam, dll, dan (4) Fasilitas seperti lapangan tidak dimodifikasi untuk kebutuhan anak, tetapi masih digunakan sebagai lapangan dengan ukuran sebenarnya.

Dengan kondisi pembelajaran yang memprihatinkan tersebut, hingga kapanpun program penjas di sekolah kita tidak akan pernah mampu mendidik anak secara holistik. Padahal paradigma kurikulum 2013 saat ini amat mendorong terkembangkannya kompetensi inti (KI) terkait Aspek Spiritual, Keterampilan Sosial, Pengetahuan, dan Psikomotor secara lengkap. Karenanya, amat diragukan bahwa guru PJOK di SD mampu menyelenggarakan suasana belajar yang kondusif melalui penerapan pendekatan saintifik dan Tematik-Terpadu tadi. Dalam rumusan sederhana, masih amatlah jauh mengharapkan para guru PJOK di sekolah-sekolah mampu bertindak dan berperan sebagai guru yang profesional, yang mampu mengembangkan keterampilan 4 C’s di atas.

Menyadari kelemahan mendasar tersebut, tentu diperlukan suatu langkah penanganan komprehensif dalam memperbaiki kondisi di atas, yang tidak berhenti sebatas program pembekalan guru PJOK dalam bentuk pelatihan atau diklat terkait kompetensi pembelajaran. Yang diperlukan adalah suatu langkah perbaikan yang bersifat elementer dalam kerangka Program Pendidikan Guru Profesional, yang meliputi perbaikan struktur kurikulum prodi, penyediaan pengalaman dini dalam praktek pengajaran (early exposure program dan PPL), penyediaan SDM di prodi maupun di tingkat sekolah mitra, serta penyediaan fasilitas pembelajaran yang memiliki kesesuaian dengan prinsip-prinsip DAP (Developmentally Appropriate Practices).

Dengan pemahaman tersebut, maka akan lebih mudah untuk memahami, mengapa kurikulum prodi PGSD Penjas ke depan, harus direvitalisasi secara komprehensif, karena harus didasari oleh pandangan yang lebih memihak kepada kepentingan pendidikan anak secara utuh, daripada terhadap kepentingan cabang olahraga dengan tujuan mendongkrak prestasi olahraga nasional. Oleh karenanya, perlu segera dimasukkan unsur-unsur yang mampu memperkuat daya imbas (kemampuan) kurikulum prodi PGSD Penjas ke depan, yaitu ke arah penguatan kompetensi calon guru PJOK dalam aspek nuansa kependidikannya, daripada berkutat pada penguatan aspek kemampuan calon guru pada penguasaan sports-skills-nya.

Kesadaran pentingnya perubahan kurikulum Prodi PGSD Penjas ini seiring dengan tuntutan peningkatan kualitas guru dan dosen di Indonesia yang tertuang dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Selain tuntutan dan kebutuhan yang sifatnya akademik dan normatif di atas, rencana perubahan kurikulum Prodi PGSD Penjas ini dilandasi juga oleh beberapa perubahan regulasi yang terkait dengan Pendidikan Tinggi, seperti Undang-undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Kurikulum Perguruan Tinggi (KPT), Peraturan Presiden RI Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), Permenristekdikti No. 55 tahun 2017 tentang Standar Pendidikan Guru, dan Panduan Pengembangan Kurikulum Perguruan Tinggi sesuai SN DIKTI tahun 2016. Permenristek DIKTI No 257/M/KPT/2017 tentang Nama Program Studi Pada Perguruan Tinggi, Keputusan Senat Akademik UPI No. 0171/Senat Akd/UPI-TU/V/2006 tentang Ketentuan Pokok Pengembangan Kurikulum UPI.

Perbaikan dalam kurikulum Prodi PGSD Penjas semakin menjadi kebutuhan yang amat tinggi manakala dikaitkan dengan kebutuhan pasar terhadap Guru PJOKorkes di Indonesia. Dirjen Pendidikan Dasar Kemendikbud Hamid Muhammad menuturkan, bahwa kebutuhan guru PJOK SD Negeri masih amat tinggi, karena selama ini data menunjukkan bahwa kekurangannya secara nasional berada di angka 54.000 orang. Angka tersebut belum menghitung dengan jumlah guru PJOK yang berada dalam jabatan yang akan segera purna tugas dalam tahun-tahun mendatang. Tambahan lagi, dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk usia anak dan remaja, akan mendorong semakin banyak jumlah sekolah swasta yang akan didirikan, termasuk semakin maraknya sekolah swasta yang berbasis sekolah internasional atau sekolah internasional yang didirikan di Indonesia.

Dengan tingkat kebutuhan yang masih tinggi tersebut, adalah suatu keniscayaan bahwa prodi PGSD Penjas akan dibutuhkan dalam waktu lama, sehingga upaya perubahan kurikulum prodi untuk membekali para calon guru pun juga sebuah keniscayaan belaka.

Dari sisi market place, jelas sekali bahwa pengguna yang membutuhkan lulusan prodi PGSD Penjas adalah sekolah-sekolah dasar dan PAUD (khusus untuk pengembangan motorik halus dan motorik kasar anak Paud), baik negeri maupun swasta, bahkan sekolah internasional di Indonesia. Dengan polesan yang tepat, misalnya dengan menyediakan program internasionalisasi yang memadai, para lulusan prodi PGSD pun akan dapat diterima di sekolah-sekolah luar negeri, minimal di negara-negara tetangga se Asia Tenggara, sehingga market place-nya semakin meluas.

Sebagai tambahan, diyakini pula bahwa market place bagi lulusan akan semakin tinggi. Semakin majunya sistem keolahragaan nasional, akan semakin banyak klub olahraga yang didirikan di kota-kota besar, dan hal itu akan membuka peluang yang cukup baik bagi kiprah para lulusan untuk menjadi pelatih atau instruktur olahraga anak dan remaja. Bahkan bukan itu saja, dengan semakin meningkatnya kebutuhan untuk mengatasi gaya hidup yang kecenderunganya akan marak akibat dorongan revolusi industri 4.0, akan semakin banyak didirikan klinik-klinik gaya hidup bagi anak yang memerlukan peningkatakan pengisian waktu luang, juga akan membuka peluang bagi para lulusan untuk bekerja di dalamnya.

Oleh karena itu, kurikulum prodi PGSD Penjas pun harus mampu memberikan kompetensi tambahan bagi para lulusan, di samping menjadi guru PJOK di sekolah, juga mereka dapat menjadi pelatih olahraga anak dan remaja, serta menjadi konsultan gaya hidup aktif bagi anak serta konsultan pertumbuhan dan perkembangan anak yang sampai saat ini belum menjadi trend. Keberadaan lulusan prodi PGSD Penjas lah nanti yang akan menjadi trend-setter dan mendorong kebutuhan masyarakat akan tenaga profesi yang akan muncul kemudian.